Rabu, 11 November 2015

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA



KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA





A.    Pendahuluan
Dinamika ketatanegaraan suatu negara dipengaruhi oleh beberapa hal. Hal- hal itu antara lain adalah situasi politik tertentu yang mendorong pemerintahnya untuk menyimpang dari Undang- Undang Dasar yang telah ditetapkan. Selain itu, perubahan nilai dalam negara juga dapat mempengaruhi dinamika ketatanegaraan karena nilai yang terdapat dalam Undang- Undang Dasar negara itu sudah tidak lagi memadai.
Pembahasan mengenai perkembangan dan pelaksanaan ketatanegaraan Republik Indonesia akan kita fokuskan pada sumber pokok berdirinya negara, yaitu konstitusi. Konstitusi atau hukum dasar terdiri dari hukum dasar tertulis (UUD 1945) dan hukum dasar tidak tertulis (konvensi).
Undang- Undang Dasar 1945 dalam gerak pelaksanaanya, sejak ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, banyak mengalami pasang surut.




Pada Bagan 8.1 secara sederhana dapat kita lihat periode pelaksanaan dan perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Bab ini akan menjelaskan perkembangan dan pelaksanaan Ketatanegaraan Republik Indonesia seperti bagan di atas.


B.     Undang – Undang Dasar 1945
Bentuk Negara
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.

No.
Periode
Jenis Konstitusi (UUD)
Bentuk Negara
Bentuk Pemerintahan
Sistem Pemerintahan
1.
18 Agustus 1945 –
27 Desember 1949

a.  18 Agustus 1945 –
14 November 1945

b.  14 November 1945 -27 Des 1949



UUD 1945



Kesatuan


Kesatuan



Republik


Republik



Kabinet Presidensial

Kabinet Parlementer
2.
27 Desember 1949 –
17 Agustus 1950
UUD RIS 1949
Serikat / Federal
Uni Republik
Kabinet Parlementer
3.
17 Agustus 1950 – 05 Juli 1959
UUDS 1950
Kesatuan
Republik
Kabinet Parlementer
4.
5 Juli 1959 – sekarang
a.  Orde Lama
5 Juli 1959 – 11 Maret 1966

b.  Orde Baru 11 Maret 1966 – sekarang


UUD 1945

Kesatuan



Kesatuan

Republik



Republik

Kabinet Presidensial
(Demokrasi Terpimpin)
Kabinet Presidensial
(Demokrasi Pancasila)

Pelaksanaan pemerintahan di Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan hak otonom kepada daerah Provinsi dan titik beratnya pada Daerah Kabupaten / Kota. Daerah- daerah bukanlah berbentuk negara (state), melainkan pelaksana dari pemerintah pusat dengan diberikan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 18 ayat 1 UUD 1945 (amandemen) disebutkan Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang- undang”. Selanjutnya pengaturan tentang Pemerintah Daerah secara lebih spesifik diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat 6 ditegaskan bahwa Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan untuk perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, diatur melalui UU No. 25 Tahun 1999.
Dari penjelasan pasal- pasal tersebut di atas, terkandung petunjuk bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Petunjuk itu didasarkan pada ciri- ciri berikut.
a.       Daerah- daerah tidak bersifat negara
b.      Daerah- daerah bias berbentuk otonom (asas desentralisasi) atau administratif (asas dekonsentrasi)
c.       Di daerah otonom akan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
·      Bentuk Pemerintahan
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 juga menegaskan tentang bentuk pemerintahan yang Republik. Kata “Republik” sebenarnya dapat kita jumpai pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV yang menyatakan  “…. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat … “.
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik dengan fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Selanjutnya bila nanti terpilih dalam pemilihan umum, maka MPR berkewajiban untuk melantiknya.
Dalam pemerintahan redormasi pasca amandemen UUD 1945, nampak dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terjadi perbedaan mendasar. Era sebelum amandemen UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Namun setelah amandemen dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, hal ini akan berdampak positif pada masalah akuntabilitas publik baik secara moral maupun konstitusional. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia meskipun Presiden masih dalam kerangka sebagai mandataris MPR dalam melaksanakan GBHN, namun dalam kedudukannya baik sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara, termasuk sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, Presiden memiliki kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan lembaga tinggi negara lainnya.   

·      Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan tampak pada Batang Tubuh UUD 1945 yang terbagi dalam beberapa bab tentang kekuasaan negara, seperti pada Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (eksekutif), Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman (yudikatif).
Berikut ini praktek- praktek kenegaraan dengan pembagian kekuasaan antara lain :
1.      Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan para menteri negara (Pasal 4 dan 17)
2.      Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dalam prakteknya DPR harus bekerja sama dengan Presiden (Pasal 5, 21 dan 22).
3.      Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain- lain badan kehakiman (pasal 24). Dalam memberikan grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi, Presiden harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Mahkamah Agung (Pasal 14).
4.      Kekuasaan eksaminatif dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, BPK harus memberitahukan hasilnya kepada DPR (Pasal 23E).


·      Sistem Pemerintahan
Dalam Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945, dicantumkan tentang Pokok- Pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

1.      Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga- lembaga negara yang lain, dalam melaksanakan tugasnya / tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.  
2.      Sistem konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Garis- garis Besar Haluan Negara, Undang- undang dan sebagainya. 
3.      Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Mengubah Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Wewenang Majelis adalah :
a.    dan menetapkan Undang- Undang Dasar
b.   Melantik Presiden dan Wakil Presiden
c.    Memberhentikan Presiden / Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis- garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang dilantik oleh Majelis, bertanggung jawab kepada Majelis. Presiden juga berkewajiban menjalankan ketetapan- ketetapan Majelis    
4.      Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis- garis Besar Haluan Negara ataupun Ketetapan MPR lainnya.  
5.      Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Kedudukan Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang- undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam cabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
6.      Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri- menteri negara. Menteri- menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan, tetapi tergantung pada Presiden. Menteri- menteri merupakan pembantu Presiden.
7.      Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh- sungguh suara- suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh- sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
Dalam kurun waktu 1945 – 1949, baik mengenai bentuk negara maupun bentuk pemerintahan, masih tetap berlaku ketentuan UUD 1945, yaitu bentuk negara kesatuan dan pemerintahan yang Republik. Akan tetapi, dalam pelaksanaan sistem pemerintahan ternyata terdapat penyimpangan dari ketentuan UUD 1945, terutama karena faktor politik.
Akibat situasi konflik yang tidak kunjung selesai dengan pihak Belanda, pemerintah tetap melaksanakan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan “ Sebelum Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang- Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional ”. ketentuan pasal inilah yang mengakibatkan tidak sempat dibentuknya lembaga- lembaga negara lain untuk melaksanakan kekuasaan legislatif. Dalam kurun waktu ini memang sempat diangkat anggota DPA Sementara dan Ketua Mahkamah Agung (Mr. Dr. Kusuma Atmadja).
Ada beberapa praktek ketatanegaraan yang dalam kurun waktu 1945 – 1949 dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945, antara lain sebagai berikut :
1.  Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat (dibentuk PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif (seharusnya DPR), dan ikut menetapkan Garis- garis Besar Haluan Negara (sesungguhnya wewenang MPR). Keputusan ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945.
2. Terjadinya perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional IndonesiaPusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 November 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.



C.    Konstitusi  RIS 1949
Pemerintah Republik Indonesia yang sudah mulai melaksanakan tugasnya, masih dihadapkan pada persoalan pelik karena Kolonial Belanda ingin menguasai kembali wilayah Indonesia, dengan melakukan Agresi Militer II (19 Desember 1947) melalui Yogyakarta yang diikuti penangkapan terhadap Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam keadaan darurat, dibentuklah pemerintahan di Bukit Tinggi (Sumatra Barat) yang dipercayakan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara. Atas peristiwa ini muncullah berbagai reaksi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dari PBB, komisi jasa baik diubah menjadi United Nations Commission for Indonesia (UNCI).  Pada akhirnya Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), yang diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus –              2 November 1949. Konferensi Meja Bundar menghasilkan tiga induk persetujuan yakni :
a.       Piagam penyerahan kedaulatan,
b.      Piagam Uni-Nederland dengan lampiran persetujuan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat,
c.       Persetujuan peralihan yang memuat peraturan- peraturan yang berkaitan dengan penyerahan kedaulatan
Dengan ini, terlaksanalah pembentukan Indonesia Serikat (RIS) dan penyerahan kedaulatan oleh Belanda.
Pada tanggal 14 Desember 1949, rancangan Konstitusi RIS diratifikasi dengan menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Sementara di Yogyakarta, sebagai ibu kota RI, tetap berlaku UUD 1945 dengan Mr. Asaat sebagai Presiden in action.
Pada tanggal 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di Belanda, diadakan upacara penandatanganan akte “penyerahan” kedaulatan yang memadai mulai dibentuknya Konstitusi RIS 1949.
Konstitusi RIS disahkan melalui Keputusan Presiden pada tanggal          31 Januari 1950 No. 48 (LN. 50-3) dan diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950.

·         Bentuk Negara
Pada masa Konstitusi RIS 1949, bentuk negara adalah serikat atau federasi. negara federasi atau serikat merupakan bentuk negara gabungan dari beberapa negara, yang menjadi negara- negara bagian dari Negara serikat itu. Ciri yang menonjol dari bentuk negara serikat adalah bahwa kedaulatan pemerintah pusat diperoleh setelah negara- negara bagian menyerahkan sebagian kedaulatannya (kedaulatan ke luar dan sebagian kedaulatan ke dalam).
Dalam hubungan ke dalam, semua negara bagian berhak untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Sedangkan dalam hubungan ke luar, yang ditangani oleh pemerintah serikat mencakup : hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan, dan urusan pos.
     
·         Bentuk Pemerintahan
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, bentuk pemerintahan adalah Republik. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Pada bentuk pemerintahan Republik, kepala negara maupun kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu, kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan negara. Kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara (Pasal 34).
Bentuk pemerintahan RIS yang bersifat Republik tercermin dalam Mukadimah Konstitusi RIS alenia III. Ciri Republik diterapkan pada saat pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri.
Bentuk pemerintahan yang dipraktekkan pada masa pemerintahan RIS, antara lain mencakup :
a.       Kedudukan Presiden hanya berfungsi sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat (Pasal 69);
b.      Presiden dipilih oleh orang- orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah bagian (Pasal 118);
c.       Berlakunya asas pedoman bahwa kehendak di daerah- daerah bagian dinyatakan merdeka menurut jalan demokrasi (Pasal 43).

·         Pembagian Kekuasaan
Secara umum, Konstitusi RIS dapat dikatakan menganut Trias Politica dengan pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dapat dilihat dari alat- alat perlengkapan federal RIS yang mencakup :
a.       Presiden,
b.      Menteri- menteri,
c.       Senat,
d.      Dewan Perwakilan Rakyat,
e.       Mahkamah Agung Indonesia, dan
f.       Dewan Pengawas Keuangan
Masing- masing alat- alat perlengkapan negara tersebut mempunyai tugas dan fungsi sendiri- sendiri, namun dalam hal- hal tertentu masih terdapat hubungan kerja sama. Sebagai contoh dari praktek ini adalah :
a.       Pemerintah bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat mempunyai kekuasaan membuat peraturan perundang- undangan baik untuk satu, beberapa, atau semua negara bagian (Pasal 127).
b.      Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengadakan perubahan- perubahandalam usul undang- undang yang dimajukan oleh pemerintah atau senat (Pasal 129).
c.       Presiden mempunyai hak member ampun dari hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukan sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung (Pasal 160).
·         Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi RIS adalah Sistem Parlementer Kabinet Semu (Quasi Parlementer). Hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh Presiden, bukan oleh Parlemen sebagaimana lazimnya [Pasal 74 ayat (2)].
b.      Kekuasaan Perdana Menteri masih dicampur tangani oleh Presiden. Hal itu tampak pada ketentuan bahwa Presiden dan menteri- menteri bersama- sama merupakan pemerintah. Seharusnya Presiden hanya sebagai Kepala Negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri [Pasal 68 ayat (1)].
c.       Pembentukann kabinet dilakukan oleh Presiden, bukan oleh parlementer (Pasal 74).
d.      Pertanggungjawaban menteri baik secara perorangan maupun bersama- sama adalah kepada DPR, namun harus melalui Keputusan Pemerintah (Pasal 74 ayat 5).
e.       Parlemen tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya pengaruh besar terhadap pemerintah. Lagi pula, DPR tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya terhadap cabinet (Pasal 118 dan 122).
f.       Presiden RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Pasal 68 dan 69).
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut pada masa Konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni. Karena dalam sistem parlementer murni, parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah (eksekutif). Tapi kenyataannya parlemen hanya terbatas pada hal- hal tertentu saja.

D.    Undang- Undang Dasar Sementara 1950
Bentuk negara serikat terlahir sebagai siasat politik yang ditempuh para pemimpin kita untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Cita- cita kita tetap Negara kesatuan.
Kesadaran akan cita- cita ini yang mendorong segenap lapisan masyarakat untuk menggabungkan diri dengan Negara Republik Indonesia. Terdesak oleh pergolakan- pergolakan yang menghebat di berbagai daerah untuk menggabungkan diri dengan RI (negara bagian), Pemerintah RIS mengeluarkan UU Darurat No. 11 tanggal 8 Maret 1950, LN 1950/16 (yang dimungkinkan oleh Pasal 139 K-RIS) tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan wilayah RIS.
Untuk mempersiapkan kembali ke bentuk negara kesatuan, dibentuklah panitia bersama dengan tugas pokok merancang Undang- Undang Dasar Sementara. Pihak RIS diwakili oleh Prof. Dr. Soepomo, sedangkan pihak RI diwakili oleh Mr. Abdul Hakim.
Pada tanggal 20 Juli 1950, Pemerintah RIS dan RI menyetujui Rancangan UUDS RI yang kemudian mendapat pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP.
Tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan DPR dan Senat menandatangani naskah UU Federal No. 7/1950 LN 56 Tahun 1950 yang memuat Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUDS Republik Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan. Kemudian, dibentuklah Negara Kesatuan RI yang berbentuk kesatuan.

·         Bentuk Negara
Bentuk negara yang dikehendaki oleh UUD Sementara 1950 adalah negara kesatuan. Kembalinya negara Indonesia menjadi negara kesatuan memang sangat didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia karena disadari bahwa kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam corak, budaya, agama, sosial budaya, dan bahasa dapat hidup rukun bila berada dalam negara kesatuan. Bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dituangkan di dalam Pasal 131.
Bentuk negara kesatuan, yang dikehendaki oleh Konstitusi (UUD) Sementara 1950 dengan sistem desentralisasi, tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah digariskan di dalam Pasal 18 UUD 1945. Bila dibandingkan dengan Pasal 18 UUD 1945, otonomi UUD Sementara 1950 dijamin lebih bebas dan luas.
      
·         Bentuk Pemerintahan
Bentuk Pemerintahan pada masa Undang- Undang Dasar Sementara 1950, seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 serta Mukadimah Alinea IV adalah bentuk pemerintahan “republik”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah negara yang menerapkan absolutism. Akan tetapi, kekuasaan negara dibatasi oleh undang- undang atas kekuasaan yang diserahkan oleh rakyat kepada pemerintah bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUDS 1950). Jadi dengan Republik, bangsa Indonesia menolak dasar pemerintahan monarkhi (kerajaan) maupun bentuk negara federal (serikat). Yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang desentralisasi dan Republik yang demokratis.

·         Pembagian Kekuasaan
Pada masa berlakunya Undang- Undang Dasar Sementara 1950, sebenarnya hal pembagian kekuasaan tidak berbeda jauh dengan masa Konstitusi RIS 1949. Alat- alat perlengkapan negara pada masa UUDS 1950 adalah sebagai berikut :
1.      Presiden dan Wakil Presiden,
2.      Menteri- menteri
3.      Dewan Perwakilan Rakyat,
4.      Mahkamah Agung, dan
5.      Dewan Pengawas Keuangan
Beberapa contoh praktek pembagian kekuasaan :
a.       Presiden, sebagai kepala negara, dalam melaksanakan kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden (Pasal 45). Hal pengangkatan Wakil Presiden adalah atas usul DPR. Sedangkan untuk kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 51 ayat 5).
b.      Kekuasaan legislatif dipegang oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89). DPR dapat memaksa kabinet atau masing- masing menteri untuk meletakkan jabatannya dan sebagai imbangannya, Presiden juga dapat membubarkan DPR
(Pasal 69). Kepada pemerintah, DPR berhak memajukan usul (inisiatif), amandemen, dan sebagainya. Kekuasaan legislatif menganut satu kamar (unicameral) karena hanya ada DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia (Pasal 56).
c.       Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. MA berhak memberikan nasehat kepada Presiden jika akan memberikan grasi, amnesti, maupun abolisi (Pasal 107).
 
·         Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang- Undang Dasar Sementara 1950 juga tidak jauh berbeda dengan Konstitusi RIS 1949. Ciri sistem pemerintahan parlementer yang tampak dapat dilihat dari Pasal 83 UUD Sementara 1950 seperti berikut.
a.       Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.      Menteri- menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama- sama untuk seluruhnya, maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri- sendiri.
Selain dari Pasal 83 UUDS 1950, ciri parlementer dapat dilihat pada ketentuan Pasal 84 UUD Sementara 1950 yang berbunyi. “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.”
Ketidakmurnian (semu) parlementer pada masa UUDS 1950 ditandai dengan ciri- ciri sebagai berikut :
a.       Perdana Menteri diangkat oleh Presiden (seharusnya oleh parlemen)(Pasal 51 ayat 2).
b.      Kekuasaan Perdana Menteri sebagai Ketua Dewan Menteri masih dicampurtangani oleh Presiden (seharusnya Presiden hanya sebagai Kepala negara dan kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri)(Pasal 46 ayat 1).
c.       Pembentukan kabinet dilakukan oleh Presiden dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang pembentuk kabinet (lazimnya oleh parlemen)(Pasal 50, jo.51 ayat 1).
d.      Pengangkatan atau penghentian menteri- menteri dan kabinet dilakukan dengan Keputusan Presiden (lazimnya oleh parlemen)(Pasal 51 ayat 5).
e.       Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) Pasal 45 jo. 46 ayat 1.

Dari ciri- ciri yang telah disebutkan, dalam UUDS 1950 tampak adanya sistem pemerintahan parlementer dan sistem Presidensial. Paham demokrasi liberal dalam pasal- pasalnya sangat tampak pada pengaturan hak asasi dan kebebasan dasar manusia hingga mencapai 26 pasal.

          
E.     Kembali ke Undang – Undang Dasar 1945
Pelaksanaan UUD Sementara 1950 dan akibatnya telah disaksikan bersama oleh bangsa Indonesia, yakni berupa kekacauan baik di bidang politik, keamanan, maupun ekonomi. Sistem parlementer yang diterapkan ala demokrasi liberal menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan (sering jatuh bangunnya kabinet). Oleh karena itulah, timbul pendapat- pendapat dalam masyarakat agar kita kembali saja kepada sistem kabinet Presidensial, seperti termuat di dalam UUD 1945.

Dekrit Presiden dan Pemerintahan Orde Lama
1.      Dekrit Presiden
Pada bulan September dan Desember 1955 Bangsa Indonesia telah berhasil mengadakan Pemilu untuk memilih parlemen dan anggota Konstituante. Tugasnya adalah untuk membuat suatu Rancangan Undang- Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950 (Pasal 137 UUDS 1950). Tanggal 10 November 1956, Konstituante bersidang di Bandung. Sidang dibuka langsung oleh Presiden Soekarno.
Secara ringkas mengenai lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut :
a.       Walaupun lebih dari 2 tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan Undang- Undang Dasar yang baru. Perbedaan pendapat mengenai dasar negara yang menjadi perdebatan di dalam sidang Konstituante, telah menjalar ke luar gedung dan dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketegangan politik dan perpecahan bangsa. Dalam suasana seperti itu, pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang Konstituante, Presiden Soekarno menyarankan untuk kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945.
b.      Saran tersebut pada umumnya diterima, hanya masih terjadi perbedaan pandangan. Ada sejumlah golongan yang secara utuh menerima UUD 1945 tersebut. Tapi ada juga yang mau menerima dengan amandemen dimasukkannya lagi tujuh kata di belakang sila pertama (seperti Piagam Jakarta 22 Juni 1945).
c.       Akibat ketidakmufakatan di antara golongan- golongan tersebut, sidang Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pemungutan suara yang pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 1959, kedua tanggal 1 Juni 1959, dan ketiga pada tanggal       2 Juni 1959, ternyata tidak memenuhi persyaratan Pasal 137 UUD 1950 (2/3 anggota hadir dan menyetujuinya).
d.      Mulai tanggal 3 Juni 1959 ternyata anggota Konstituante mengadakan reses yang berkepanjangan, serta menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi (lebih dari separoh anggota). Ini berarti Konstituante telah gagal dalam tugasnya untuk menetapkan Undang- Undang Dasar sebagai pengganti UUDS 1950. Dan kegagalan ini jelas sangat membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta pembangunan nasional.
e.       Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden, tentang kembali kepada UUD 1945. Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) juga mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh jajaran TNI/AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden tersebut.
f.       Mahkamah Agung juga membenarkan tindakan Presiden yang mengeluarkan dekrit tersebut yang didasarkan pada hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Hukum darurat yang dimaksud adalah hukum darurat subjektif (hukum darurat negara yang diberikan kepada penguasa untuk mengambil tindakan secara objektif karena peraturannya belum ada).
Selanjutnya, dekrit tersebut mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia melalui persetujuan DPR hasil Pemilu dalam sidang DPR tanggal 22 Juli 1959. Hal itu mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Demikian juga DPR hasil Pemilu 1955 dalam sidangnya pada tanggal 27 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945.
Diktum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu adalah seperti berikut :
1.      Menetapkan pembubaran Badan Konstituante
2.      Menetapkan Undang- Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit, dan tidak berlakunya lagi Undang- Undang Dasar Sementara 1950.
3.      Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan- utusan dari daerah- daerah dan golongan- golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.
      
Dekrit diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada tanggal 5 Juli 1959, pada hari Minggu pukul 17.00. Dekrit tersebut dimuat di dalam Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar