KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
A. Pendahuluan
Dinamika
ketatanegaraan suatu negara dipengaruhi oleh beberapa hal. Hal- hal itu antara
lain adalah situasi politik tertentu yang mendorong pemerintahnya untuk
menyimpang dari Undang- Undang Dasar yang telah ditetapkan. Selain itu,
perubahan nilai dalam negara juga dapat mempengaruhi dinamika ketatanegaraan
karena nilai yang terdapat dalam Undang- Undang Dasar negara itu sudah tidak
lagi memadai.
Pembahasan
mengenai perkembangan dan pelaksanaan ketatanegaraan Republik Indonesia akan
kita fokuskan pada sumber pokok berdirinya negara, yaitu konstitusi. Konstitusi
atau hukum dasar terdiri dari hukum dasar tertulis (UUD 1945) dan hukum dasar
tidak tertulis (konvensi).
Undang-
Undang Dasar 1945 dalam gerak pelaksanaanya, sejak ditetapkan oleh PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, banyak
mengalami pasang surut.
Pada
Bagan 8.1 secara sederhana dapat kita lihat periode pelaksanaan dan
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Bab ini akan menjelaskan perkembangan
dan pelaksanaan Ketatanegaraan Republik Indonesia seperti bagan di atas.
B. Undang – Undang Dasar 1945
Bentuk
Negara
Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik.
No.
|
Periode
|
Jenis
Konstitusi (UUD)
|
Bentuk Negara
|
Bentuk
Pemerintahan
|
Sistem
Pemerintahan
|
1.
|
18
Agustus 1945 –
27
Desember 1949
a.
18 Agustus 1945 –
14 November 1945
b.
14 November 1945 -27 Des 1949
|
UUD 1945
|
Kesatuan
Kesatuan
|
Republik
Republik
|
Kabinet
Presidensial
Kabinet
Parlementer
|
2.
|
27
Desember 1949 –
17
Agustus 1950
|
UUD
RIS 1949
|
Serikat
/ Federal
|
Uni
Republik
|
Kabinet
Parlementer
|
3.
|
17
Agustus 1950 – 05 Juli 1959
|
UUDS
1950
|
Kesatuan
|
Republik
|
Kabinet
Parlementer
|
4.
|
5
Juli 1959 – sekarang
a.
Orde Lama
5
Juli 1959 – 11 Maret 1966
b.
Orde Baru 11 Maret 1966 – sekarang
|
UUD
1945
|
Kesatuan
Kesatuan
|
Republik
Republik
|
Kabinet
Presidensial
(Demokrasi
Terpimpin)
Kabinet
Presidensial
(Demokrasi
Pancasila)
|
Pelaksanaan
pemerintahan di Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan hak
otonom kepada daerah Provinsi dan titik beratnya pada Daerah Kabupaten / Kota.
Daerah- daerah bukanlah berbentuk negara (state), melainkan pelaksana dari
pemerintah pusat dengan diberikan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tentang Pemerintahan
Daerah, dalam pasal 18 ayat 1 UUD 1945 (amandemen) disebutkan “Negara
Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang- undang”.
Selanjutnya pengaturan tentang Pemerintah Daerah secara lebih spesifik diatur
dalam UU No. 22 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat 6 ditegaskan bahwa
Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan untuk
perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, diatur melalui UU
No. 25 Tahun 1999.
Dari penjelasan pasal-
pasal tersebut di atas, terkandung petunjuk bahwa bentuk negara Indonesia adalah
negara kesatuan. Petunjuk itu didasarkan pada ciri- ciri berikut.
a. Daerah-
daerah tidak bersifat negara
b. Daerah-
daerah bias berbentuk otonom (asas desentralisasi) atau administratif (asas
dekonsentrasi)
c. Di
daerah otonom akan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
· Bentuk Pemerintahan
Pasal
1 ayat 1 UUD 1945 juga menegaskan tentang bentuk pemerintahan yang Republik.
Kata “Republik” sebenarnya dapat kita jumpai pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV
yang menyatakan “…. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang- Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat … “.
Bentuk
pemerintahan Indonesia adalah Republik dengan fungsi presiden sebagai kepala
pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Selanjutnya bila nanti terpilih dalam pemilihan umum, maka MPR berkewajiban
untuk melantiknya.
Dalam
pemerintahan redormasi pasca amandemen UUD 1945, nampak dalam pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden terjadi perbedaan mendasar. Era sebelum amandemen
UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Namun setelah amandemen dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat, hal ini akan berdampak positif pada masalah akuntabilitas
publik baik secara moral maupun konstitusional. Dalam praktek ketatanegaraan
Indonesia meskipun Presiden masih dalam kerangka sebagai mandataris MPR dalam
melaksanakan GBHN, namun dalam kedudukannya baik sebagai kepala pemerintahan
maupun kepala negara, termasuk sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata,
Presiden memiliki kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan lembaga tinggi
negara lainnya.
· Pembagian Kekuasaan
Pembagian
kekuasaan tampak pada Batang Tubuh UUD 1945 yang terbagi dalam beberapa bab
tentang kekuasaan negara, seperti pada Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan
Negara (eksekutif), Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), Bab
IX tentang Kekuasaan Kehakiman (yudikatif).
Berikut ini
praktek- praktek kenegaraan dengan pembagian kekuasaan antara lain :
1. Kekuasaan
eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan para
menteri negara (Pasal 4 dan 17)
2. Kekuasaan
legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dalam prakteknya DPR harus
bekerja sama dengan Presiden (Pasal 5, 21 dan 22).
3. Kekuasaan
yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain- lain badan kehakiman (pasal
24). Dalam memberikan grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi, Presiden harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Mahkamah Agung (Pasal 14).
4. Kekuasaan
eksaminatif dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam melaksanakan tugas
pemeriksaan keuangan negara, BPK harus memberitahukan hasilnya kepada DPR
(Pasal 23E).
· Sistem Pemerintahan
Dalam Batang
Tubuh Undang- Undang Dasar 1945, dicantumkan tentang Pokok- Pokok Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
1.
Indonesia
adalah negara hukum (rechtsstaat)
Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintah
dan lembaga- lembaga negara yang lain, dalam melaksanakan tugasnya / tindakan
apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
2.
Sistem
konstitusional
Pemerintahan
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan
cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi,
dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk
konstitusional, seperti Garis- garis Besar Haluan Negara, Undang- undang dan
sebagainya.
3.
Kekuasaan
negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Mengubah Kedaulatan
rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Wewenang Majelis adalah
:
a. dan
menetapkan Undang- Undang Dasar
b. Melantik
Presiden dan Wakil Presiden
c. Memberhentikan
Presiden / Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Majelis inilah
yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan
haluan negara menurut garis- garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.
Presiden yang dilantik oleh Majelis, bertanggung jawab kepada Majelis. Presiden
juga berkewajiban menjalankan ketetapan- ketetapan Majelis
4.
Presiden
ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan
Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga
dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-
garis Besar Haluan Negara ataupun Ketetapan MPR lainnya.
5.
Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Kedudukan
Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat adalah neben atau sejajar. Dalam hal
pembentukan undang- undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden
harus bekerja sama dengan DPR.
Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung
dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam cabinet
parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
6.
Menteri
negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden
memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri- menteri negara. Menteri-
menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya tidak
tergantung dari Dewan, tetapi tergantung pada Presiden. Menteri- menteri
merupakan pembantu Presiden.
7.
Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas
Meskipun kepala
negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator”
atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga
harus memperhatikan sungguh- sungguh suara- suara dari DPR karena DPR berhak
mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga
mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa
untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh- sungguh
melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
Dalam
kurun waktu 1945 – 1949, baik mengenai bentuk negara maupun bentuk
pemerintahan, masih tetap berlaku ketentuan UUD 1945, yaitu bentuk negara
kesatuan dan pemerintahan yang Republik. Akan tetapi, dalam pelaksanaan sistem
pemerintahan ternyata terdapat penyimpangan dari ketentuan UUD 1945, terutama
karena faktor politik.
Akibat
situasi konflik yang tidak kunjung selesai dengan pihak Belanda, pemerintah
tetap melaksanakan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan
“ Sebelum Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang- Undang Dasar ini, segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional ”. ketentuan
pasal inilah yang mengakibatkan tidak sempat dibentuknya lembaga- lembaga
negara lain untuk melaksanakan kekuasaan legislatif. Dalam kurun waktu ini
memang sempat diangkat anggota DPA Sementara dan Ketua Mahkamah Agung (Mr. Dr.
Kusuma Atmadja).
Ada
beberapa praktek ketatanegaraan yang dalam kurun waktu 1945 – 1949 dianggap
tidak sesuai dengan UUD 1945, antara lain sebagai berikut :
1. Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat
(dibentuk PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu Presiden menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif (seharusnya DPR), dan ikut menetapkan Garis-
garis Besar Haluan Negara (sesungguhnya wewenang MPR). Keputusan ini
berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945.
2. Terjadinya
perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer berdasarkan
usul Badan Pekerja Komite Nasional IndonesiaPusat (BP-KNIP) pada tanggal 11
November 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.
C.
Konstitusi RIS 1949
Pemerintah
Republik Indonesia yang sudah mulai melaksanakan tugasnya, masih dihadapkan
pada persoalan pelik karena Kolonial Belanda ingin menguasai kembali wilayah
Indonesia, dengan melakukan Agresi Militer II (19 Desember 1947) melalui
Yogyakarta yang diikuti penangkapan terhadap Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dalam keadaan darurat, dibentuklah pemerintahan di Bukit Tinggi (Sumatra Barat)
yang dipercayakan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara. Atas peristiwa ini
muncullah berbagai reaksi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dari PBB, komisi
jasa baik diubah menjadi United Nations
Commission for Indonesia (UNCI). Pada akhirnya Belanda mau mengakui kedaulatan
Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), yang diselenggarakan pada
tanggal 23 Agustus – 2
November 1949. Konferensi Meja Bundar menghasilkan tiga induk persetujuan yakni
:
a.
Piagam penyerahan kedaulatan,
b.
Piagam Uni-Nederland dengan lampiran
persetujuan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat,
c.
Persetujuan peralihan yang memuat
peraturan- peraturan yang berkaitan dengan penyerahan kedaulatan
Dengan
ini, terlaksanalah pembentukan Indonesia Serikat (RIS) dan penyerahan
kedaulatan oleh Belanda.
Pada
tanggal 14 Desember 1949, rancangan Konstitusi RIS diratifikasi dengan menunjuk
Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana
Menteri. Sementara di Yogyakarta, sebagai ibu kota RI, tetap berlaku UUD 1945
dengan Mr. Asaat sebagai Presiden in
action.
Pada
tanggal 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di Belanda, diadakan upacara
penandatanganan akte “penyerahan” kedaulatan yang memadai mulai dibentuknya
Konstitusi RIS 1949.
Konstitusi
RIS disahkan melalui Keputusan Presiden pada tanggal 31 Januari 1950 No. 48 (LN. 50-3) dan
diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950.
·
Bentuk
Negara
Pada
masa Konstitusi RIS 1949, bentuk negara adalah serikat atau federasi. negara
federasi atau serikat merupakan bentuk negara gabungan dari beberapa negara,
yang menjadi negara- negara bagian dari Negara serikat itu. Ciri yang menonjol
dari bentuk negara serikat adalah bahwa kedaulatan pemerintah pusat diperoleh
setelah negara- negara bagian menyerahkan sebagian kedaulatannya (kedaulatan ke
luar dan sebagian kedaulatan ke dalam).
Dalam
hubungan ke dalam, semua negara bagian berhak untuk mengatur dan mengurus
pemerintahannya sendiri. Sedangkan dalam hubungan ke luar, yang ditangani oleh
pemerintah serikat mencakup : hubungan luar negeri, pertahanan keamanan,
keuangan, dan urusan pos.
·
Bentuk
Pemerintahan
Pada
masa berlakunya Konstitusi RIS, bentuk pemerintahan adalah Republik. Ketentuan
itu tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kekuasaan kedaulatan
Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama- sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat. Pada bentuk pemerintahan Republik, kepala negara
maupun kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu, kemauan rakyat
adalah dasar kekuasaan negara. Kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala
yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum
dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut
cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara (Pasal 34).
Bentuk
pemerintahan RIS yang bersifat Republik tercermin dalam Mukadimah Konstitusi
RIS alenia III. Ciri Republik diterapkan pada saat pemilihan Ir. Soekarno
sebagai Presiden RIS, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri.
Bentuk
pemerintahan yang dipraktekkan pada masa pemerintahan RIS, antara lain mencakup
:
a. Kedudukan
Presiden hanya berfungsi sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat
(Pasal 69);
b. Presiden
dipilih oleh orang- orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah bagian (Pasal
118);
c. Berlakunya
asas pedoman bahwa kehendak di daerah- daerah bagian dinyatakan merdeka menurut
jalan demokrasi (Pasal 43).
·
Pembagian
Kekuasaan
Secara
umum, Konstitusi RIS dapat dikatakan menganut Trias Politica dengan pembagian
kekuasaan. Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dapat dilihat dari alat- alat
perlengkapan federal RIS yang mencakup :
a. Presiden,
b. Menteri-
menteri,
c. Senat,
d. Dewan
Perwakilan Rakyat,
e. Mahkamah
Agung Indonesia, dan
f. Dewan
Pengawas Keuangan
Masing-
masing alat- alat perlengkapan negara tersebut mempunyai tugas dan fungsi
sendiri- sendiri, namun dalam hal- hal tertentu masih terdapat hubungan kerja
sama. Sebagai contoh dari praktek ini adalah :
a. Pemerintah
bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat mempunyai kekuasaan
membuat peraturan perundang- undangan baik untuk satu, beberapa, atau semua
negara bagian (Pasal 127).
b. Dewan
Perwakilan Rakyat berhak mengadakan perubahan- perubahandalam usul undang-
undang yang dimajukan oleh pemerintah atau senat (Pasal 129).
c. Presiden
mempunyai hak member ampun dari hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan
kehakiman. Hak itu dilakukan sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung (Pasal
160).
·
Sistem
Pemerintahan
Sistem
Pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi RIS adalah Sistem Parlementer Kabinet
Semu (Quasi Parlementer). Hubungan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengangkatan
perdana menteri dilakukan oleh Presiden, bukan oleh Parlemen sebagaimana
lazimnya [Pasal 74 ayat (2)].
b. Kekuasaan
Perdana Menteri masih dicampur tangani oleh Presiden. Hal itu tampak pada
ketentuan bahwa Presiden dan menteri- menteri bersama- sama merupakan
pemerintah. Seharusnya Presiden hanya sebagai Kepala Negara, sedangkan kepala
pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri [Pasal 68 ayat (1)].
c. Pembentukann
kabinet dilakukan oleh Presiden, bukan oleh parlementer (Pasal 74).
d. Pertanggungjawaban
menteri baik secara perorangan maupun bersama- sama adalah kepada DPR, namun
harus melalui Keputusan Pemerintah (Pasal 74 ayat 5).
e. Parlemen
tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya
pengaruh besar terhadap pemerintah. Lagi pula, DPR tidak dapat menggunakan mosi
tidak percaya terhadap cabinet (Pasal 118 dan 122).
f. Presiden
RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan (Pasal 68 dan 69).
Dari
uraian tersebut di atas, jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut pada masa
Konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni. Karena dalam sistem parlementer
murni, parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang sangat menentukan
terhadap kekuasaan pemerintah (eksekutif). Tapi kenyataannya parlemen hanya
terbatas pada hal- hal tertentu saja.
D.
Undang-
Undang Dasar Sementara 1950
Bentuk negara
serikat terlahir sebagai siasat politik yang ditempuh para pemimpin kita untuk
memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Cita- cita kita tetap Negara
kesatuan.
Kesadaran akan
cita- cita ini yang mendorong segenap lapisan masyarakat untuk menggabungkan
diri dengan Negara Republik Indonesia. Terdesak oleh pergolakan- pergolakan
yang menghebat di berbagai daerah untuk menggabungkan diri dengan RI (negara
bagian), Pemerintah RIS mengeluarkan UU Darurat No. 11 tanggal 8 Maret 1950, LN
1950/16 (yang dimungkinkan oleh Pasal 139 K-RIS) tentang tata cara perubahan
susunan kenegaraan wilayah RIS.
Untuk
mempersiapkan kembali ke bentuk negara kesatuan, dibentuklah panitia bersama
dengan tugas pokok merancang Undang- Undang Dasar Sementara. Pihak RIS diwakili
oleh Prof. Dr. Soepomo, sedangkan
pihak RI diwakili oleh Mr. Abdul Hakim.
Pada tanggal 20
Juli 1950, Pemerintah RIS dan RI menyetujui Rancangan UUDS RI yang kemudian
mendapat pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP.
Tanggal 15
Agustus 1950, Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan DPR dan Senat
menandatangani naskah UU Federal No. 7/1950 LN 56 Tahun 1950 yang memuat
Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUDS Republik Indonesia.
Pada tanggal 17
Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan. Kemudian, dibentuklah Negara Kesatuan
RI yang berbentuk kesatuan.
·
Bentuk
Negara
Bentuk
negara yang dikehendaki oleh UUD Sementara 1950 adalah negara kesatuan. Kembalinya negara Indonesia menjadi negara
kesatuan memang sangat didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia karena disadari
bahwa kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam corak, budaya, agama,
sosial budaya, dan bahasa dapat hidup rukun bila berada dalam negara kesatuan.
Bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dituangkan di dalam Pasal
131.
Bentuk
negara kesatuan, yang dikehendaki oleh Konstitusi (UUD) Sementara 1950 dengan
sistem desentralisasi, tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah digariskan di
dalam Pasal 18 UUD 1945. Bila dibandingkan dengan Pasal 18 UUD 1945, otonomi
UUD Sementara 1950 dijamin lebih bebas dan luas.
·
Bentuk
Pemerintahan
Bentuk
Pemerintahan pada masa Undang- Undang Dasar Sementara 1950, seperti yang telah
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 serta Mukadimah Alinea IV adalah bentuk
pemerintahan “republik”.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah negara yang menerapkan absolutism. Akan
tetapi, kekuasaan negara dibatasi oleh undang- undang atas kekuasaan yang
diserahkan oleh rakyat kepada pemerintah bersama- sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUDS 1950). Jadi dengan Republik, bangsa Indonesia
menolak dasar pemerintahan monarkhi (kerajaan) maupun bentuk negara federal
(serikat). Yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
desentralisasi dan Republik yang demokratis.
·
Pembagian
Kekuasaan
Pada
masa berlakunya Undang- Undang Dasar Sementara 1950, sebenarnya hal pembagian
kekuasaan tidak berbeda jauh dengan masa Konstitusi RIS 1949. Alat- alat
perlengkapan negara pada masa UUDS 1950 adalah sebagai berikut :
1. Presiden
dan Wakil Presiden,
2. Menteri-
menteri
3. Dewan
Perwakilan Rakyat,
4. Mahkamah
Agung, dan
5. Dewan
Pengawas Keuangan
Beberapa contoh
praktek pembagian kekuasaan :
a.
Presiden, sebagai kepala negara, dalam
melaksanakan kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden (Pasal 45). Hal
pengangkatan Wakil Presiden adalah atas usul DPR. Sedangkan untuk kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden (Pasal 51 ayat 5).
b.
Kekuasaan legislatif dipegang oleh
pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89). DPR dapat memaksa
kabinet atau masing- masing menteri untuk meletakkan jabatannya dan sebagai
imbangannya, Presiden juga dapat membubarkan DPR
(Pasal 69). Kepada pemerintah, DPR berhak memajukan usul (inisiatif), amandemen, dan sebagainya. Kekuasaan legislatif menganut satu kamar (unicameral) karena hanya ada DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia (Pasal 56).
(Pasal 69). Kepada pemerintah, DPR berhak memajukan usul (inisiatif), amandemen, dan sebagainya. Kekuasaan legislatif menganut satu kamar (unicameral) karena hanya ada DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia (Pasal 56).
c.
Kekuasaan yudikatif dipegang oleh
Mahkamah Agung. MA berhak memberikan nasehat kepada Presiden jika akan
memberikan grasi, amnesti, maupun abolisi (Pasal 107).
·
Sistem
Pemerintahan
Sistem
pemerintahan yang dianut oleh Undang- Undang Dasar Sementara 1950 juga tidak
jauh berbeda dengan Konstitusi RIS 1949. Ciri sistem pemerintahan parlementer
yang tampak dapat dilihat dari Pasal 83 UUD Sementara 1950 seperti berikut.
a. Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
b. Menteri-
menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik
bersama- sama untuk seluruhnya, maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri-
sendiri.
Selain
dari Pasal 83 UUDS 1950, ciri parlementer dapat dilihat pada ketentuan Pasal 84
UUD Sementara 1950 yang berbunyi. “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat, Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula
untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.”
Ketidakmurnian
(semu) parlementer pada masa UUDS 1950 ditandai dengan ciri- ciri sebagai
berikut :
a. Perdana
Menteri diangkat oleh Presiden (seharusnya oleh parlemen)(Pasal 51 ayat 2).
b. Kekuasaan
Perdana Menteri sebagai Ketua Dewan Menteri masih dicampurtangani oleh Presiden
(seharusnya Presiden hanya sebagai Kepala negara dan kepala pemerintahannya
adalah Perdana Menteri)(Pasal 46 ayat 1).
c. Pembentukan
kabinet dilakukan oleh Presiden dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang
pembentuk kabinet (lazimnya oleh parlemen)(Pasal 50, jo.51 ayat 1).
d. Pengangkatan
atau penghentian menteri- menteri dan kabinet dilakukan dengan Keputusan
Presiden (lazimnya oleh parlemen)(Pasal 51 ayat 5).
e. Presiden
dan Wakil Presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara juga sebagai
kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) Pasal 45 jo. 46 ayat 1.
Dari
ciri- ciri yang telah disebutkan, dalam UUDS 1950 tampak adanya sistem
pemerintahan parlementer dan sistem Presidensial. Paham demokrasi liberal dalam
pasal- pasalnya sangat tampak pada pengaturan hak asasi dan kebebasan dasar
manusia hingga mencapai 26 pasal.
E.
Kembali
ke Undang – Undang Dasar 1945
Pelaksanaan
UUD Sementara 1950 dan akibatnya telah disaksikan bersama oleh bangsa
Indonesia, yakni berupa kekacauan baik di bidang politik, keamanan, maupun
ekonomi. Sistem parlementer yang diterapkan ala demokrasi liberal menimbulkan
ketidakstabilan politik dan pemerintahan (sering jatuh bangunnya kabinet). Oleh
karena itulah, timbul pendapat- pendapat dalam masyarakat agar kita kembali
saja kepada sistem kabinet Presidensial, seperti termuat di dalam UUD 1945.
Dekrit
Presiden dan Pemerintahan Orde Lama
1. Dekrit Presiden
Pada bulan
September dan Desember 1955 Bangsa Indonesia telah berhasil mengadakan Pemilu
untuk memilih parlemen dan anggota Konstituante. Tugasnya adalah untuk membuat
suatu Rancangan Undang- Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950
(Pasal 137 UUDS 1950). Tanggal 10 November 1956, Konstituante bersidang di
Bandung. Sidang dibuka langsung oleh Presiden Soekarno.
Secara ringkas
mengenai lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut :
a.
Walaupun lebih dari 2 tahun bersidang,
Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan Undang- Undang Dasar yang
baru. Perbedaan pendapat mengenai dasar negara yang menjadi perdebatan di dalam
sidang Konstituante, telah menjalar ke luar gedung dan dikhawatirkan akan dapat
menimbulkan ketegangan politik dan perpecahan bangsa. Dalam suasana seperti
itu, pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang Konstituante, Presiden Soekarno
menyarankan untuk kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945.
b.
Saran tersebut pada umumnya diterima,
hanya masih terjadi perbedaan pandangan. Ada sejumlah golongan yang secara utuh
menerima UUD 1945 tersebut. Tapi ada juga yang mau menerima dengan amandemen
dimasukkannya lagi tujuh kata di belakang sila pertama (seperti Piagam Jakarta
22 Juni 1945).
c.
Akibat ketidakmufakatan di antara
golongan- golongan tersebut, sidang Konstituante mengadakan pemungutan suara
terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pemungutan suara yang
pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 1959, kedua tanggal 1 Juni 1959, dan
ketiga pada tanggal 2 Juni 1959,
ternyata tidak memenuhi persyaratan Pasal 137 UUD 1950 (2/3 anggota hadir dan
menyetujuinya).
d.
Mulai tanggal 3 Juni 1959 ternyata
anggota Konstituante mengadakan reses yang berkepanjangan, serta menyatakan
tidak akan menghadiri sidang lagi (lebih dari separoh anggota). Ini berarti
Konstituante telah gagal dalam tugasnya untuk menetapkan Undang- Undang Dasar
sebagai pengganti UUDS 1950. Dan kegagalan ini jelas sangat membahayakan
persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta pembangunan nasional.
e.
Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari
sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden,
tentang kembali kepada UUD 1945. Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) juga
mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh jajaran TNI/AD untuk
melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden tersebut.
f.
Mahkamah Agung juga membenarkan tindakan
Presiden yang mengeluarkan dekrit tersebut yang didasarkan pada hukum darurat
negara (staatsnoodrecht). Hukum darurat yang dimaksud adalah hukum darurat
subjektif (hukum darurat negara yang diberikan kepada penguasa untuk mengambil
tindakan secara objektif karena peraturannya belum ada).
Selanjutnya,
dekrit tersebut mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia melalui
persetujuan DPR hasil Pemilu dalam sidang DPR tanggal 22 Juli 1959. Hal itu
mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan keselamatan bangsa dan
negara. Demikian juga DPR hasil Pemilu 1955 dalam sidangnya pada tanggal 27
Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus
berdasarkan UUD 1945.
Diktum Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 itu adalah seperti berikut :
1. Menetapkan
pembubaran Badan Konstituante
2. Menetapkan
Undang- Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit,
dan tidak berlakunya lagi Undang- Undang Dasar Sementara 1950.
3. Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota- anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan- utusan dari daerah- daerah dan
golongan- golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.
Dekrit diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan
rakyat pada tanggal 5 Juli 1959, pada hari Minggu pukul 17.00. Dekrit tersebut
dimuat di dalam Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 dan diumumkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar